Menuju Hari Tani 24 September
>> Jumat, 14 September 2012
Petani adalah subyek yang sangat penting di Indonesia, namun hingga kini nasib petani kecil masih sangat memprihatinkan. Kemiskinan yang mendera petani tak kunjung tuntas, bahkan ada kecenderung meningkat. kaum tani Indonesia pada era ini didera kemiskinan yang akut akibat liberalisasi ekonomi yang semakin intensif. Pendapatan petani terus menurun, sementara biaya produksi semakin melonjak naik, belum lagi biaya hidup yang makin membengkak. Pasar dalam negeri dibanjiri produk pangan impor dalam jumlah besar, yang menjatuhkan produk petani. Proteksi terhadap produk-produk pertanian dihapuskan satu per satu oleh pemerintah.
Sejumlah negara maju seperti AS, Autralia dan lain-lain telah memaksakan kepentingan pasar mereka dalam Agreement on Agriculture (AOA), IMF dan Bank Dunia dan kesepakatan perdagangan bilateral yang agresif untuk mendorong liberalisasi perdagangan. IMF menekan pemerintah Indonesia untuk menurunkan tarif impor beras sampai 0% dan pada saat yang hampir bersamaan menyarankan untuk mencabut subsidi pupuk tanpa kompensasi apapun bagi petani. Melikuidasi peran BULOG sebagai satu satunya alat perlindungan harga dan penyangga stok beras nasional dan lain sebagainya.
Fakta-fakta lainnya adalah dengan munculnya berbagai UU yang mendorong kebebasan untuk menguasai sumber-sumber hidup rakyat, seperti UU Sumberdaya Air, (R)UU Pengadaan Tanah, UU Kelistrikan, UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan lain-lain, yang berakibat penyingkiran rakyat dari sumber-sumber hidupnya seperti perampasan tanah dari petani. Luas konversi lahan pertanian menjadi berbagai macam peruntukan melaju sekitar 10.000 Ha per tahun, dan di pulau Jawa angkanya bahkan sudah mencapai 40.000 Ha per tahun, hal ini bisa terlihat, misalnya untuk sektor perkebunan, terjadi perluasan perkebunan sawit hingga 100.000 Ha dari yang asalnya 20.000 Ha saja. Padahal, berdasarkan penelitian SPI (2007), 60 persen dari keseluruhan lahan kebun sawit ini hanya dikuasai oleh 9 perusahaan saja dan pada tahun 2010 pemerintah telah mengeluarkan izin lokasi mencapai 26,7 juta Ha, sementara di sektor pertambangan, menurut data JATAM, dari 192.26 juta Ha wilayah Indonesia, 95.45 juta lahan telah dikontrak karyakan kepada perusahaan pertambangan baik dari dalam dan luar negeri dan lain-lain.
Seiring dengan ditetapkannya berbagai UU tersebut, diberbagai daerah muncul konflik-konflik pertanahan, menurut data BPS pada tahun 2007 jumlah konflik tanah yang masuk sebanyak 2.615 kasus dan meningkat menjadi 7491 kasus pada tahun 2009 di seluruh Indonesia dengan luas lahan konflik sebesar 608.000 Ha. Meningkat pula kasus-kasus kekerasan terhadap kaum tani, menurut catatan SPI, dalam empat tahun terakhir sedikitnya 23 petani tewas dalam 183 kasus bentrok bersenjata, menyeret 668 petani dikriminalkan dan 82.726 keluarga tergusur, Bahkan tahun ini eskalasi kekerasan terhadap petani semakin terlihat jelas, dalam empat bulan pertama tahun 2011 ini tercatat telah terjadi sembilan konflik agraria, antara masyarakat dengan pihak perkebunan dan melibatkan aparat pemerintah, yang menyebabkan 11 petani meninggal, 44 orang mengalami luka, baik ringan maupun berat, tujuh orang ditahan, dan ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak. Jumlah korban meninggal di empat bulan pertama ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah korban meninggal sepanjang tahun lalu.
Selain itu, terjadi juga liberalisasi dalam tata niaga pupuk yang sebelumnya dikendalikan PUSRI, mengurangi secara bertahap subsidi pupuk hingga Rp 0,- di tahun 2012, mengurangi subsidi terhadap gas sebagai bahan dasar pembuatan pupuk, menghapuskan skema kredit murah untuk petani dan digantikan dengan kredit komersial sehingga mengakibatkan penyerapan petani terhadap kredit menjadi rendah.
Dan saat ini, yang paling dirasakan oleh kaum tani adalah, pengurangan tarif dalam rangka mengurangi hambatan perdagangan bebas, sampai dengan 0% terhadap 59 jenis produk bahan pangan, diantaranya: beras, gandum, kedelai, bahan baku pangan pakan ternak, dan pupuk. Akibatnya pasar pertanian secara perlahan dibanjiri produk pangan impor dari negeri maju, sementara dilain pihak, negara maju seperti USA, Uni-Eropa, Jepang dan Kanada justru menerapkan standar ganda (double standard) dalam berbagai aktivitas pertaniannya dengan negara lain, terutama praktek dumping. Lihat saja data-data impor produk pangan kita tahun 2011: beras 2 juta ton, kedelai 1.5 juta ton. Begitu juga gula, jagung, susu, daging sapi dsb sehingga total impor kita sekarang mencapai 65% dari keseluruhan kebutuhan pangan nasional.
Liberalisasi juga, munculnya oligopoli perusahaan swasta yang dapat mengendalikan harga produk pertanian, seperti kasus penurunan harga beli susu oleh Nestle dari petani. Posisi tawar kaum tani menjadi semakin kecil karena Nestle menyerap lebih dari 50% produksi susu dari petani.
Akibatnya, produksi pertanian didalam negeri terus menurun, seperti kedelai, beras dan lain-lain, angka petani tuna kisma/buruh tani dan penyempitan lahan petani meningkat dengan laju sekitar 13 juta kepala keluarga hingga tahun 2003, biaya produksi petani meningkat menjadi 2 kali lipat dari 250 ribu per Ha menjadi 450 ribu per Ha, angka kelaparan, kemiskinan, kekurangan gizi, putus sekolah, kematian ibu dan bayi yang menimpa keluarga tani meningkat dan lain sebagainya. Di seluruh Indonesia paling tidak terjadi lebih dari 3. 500 kasus kelaparan dan gizi buruk yang telah merenggut jiwa bayi dan anak. Dan lain sebagainya.
Solusi untuk para kaum tani.
• Perbaikan yang dibutuhkan pertama-tama adalah menghentikan semua paket liberalisasi disektor pertanian, mulai dari liberalisasi terhadap penguasaan sumber-sumber daya alam seperti air dan tanah, liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian dan liberaliasi terhadap sektor-sektor industri yang mendukung pertanian seperti: industri gas dan pupuk.
• Meminta tanggung jawab negara untuk melindungi pertanian nasional, dengan memberikan berbagai macam bentuk bantuan seperti modal usaha dengan persyaratan yang ringan dan tanpa bunga atau minimal dengan bunga yang rendah, subsidi terhadap bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan pertanian (saprotan), membangun infrastruktur untuk mendukung pertanian nasional, meningkatkan pengetahuan, teknik dan alat-alat pertanian sehingga tercipta produktifitas dan efisiensi.
• Pemerintah harus menyelesaikan sengketa-sengketa agraria secara adil dan mengembalikan tanah milik para petani, mengusut dan mengadili para pelanggar HAM yang telah melukai dan membunuh kaum tani. Dan membebaskan kaum tani untuk membentuk organisasinya sendiri, secara mandiri. Sekalipun saat ini tidak ada larangan untuk mendirikan organisasi, namun pemerintah masih diskriminatif, misalnya dalam hal pemberian bantuan, organisasi-organisasi yang didirikan secara independen tidak bisa mengakses bantuan tersebut.
• Pemerintah bertanggung jawab atas beban hidup kaum tani untuk kesehatan, pendidikan, dan harga-harga barang kebutuhan pokok lainnya. Mahalnya biaya kesehatan, pendidikan menyebabkan jutaan rakyat, termasuk kaum tani tidak dapat mengakses kesehatan yang layak, pendidikan yang tinggi, memperbaikki gizi keluarga, membuat rumah yang sehat dan sebagainya.
Kaum tani hanya akan terbebaskan dari kemiskinan, jika bersama dengan kaum proletariat mengambil alih pemerintahan, dan bertindak untuk kepentingan mayoritas rakyat yang dimiskinkan oleh hubungan-hubungan produksi yang menghisap, yaitu pemerintahan buruh-tani.
Bangun kekuatan persatuan rakyat yang independen dan mandiri
menuju pemerintahan alternatif!!!
0 komentar:
Posting Komentar