Kepada Marxisme seringkali dinyatakan keberatan bahwa ajaran-ajarannya selalu
memihak, sehingga bersifat berat sebelah dan tidak mungkin obyektif, demikian
kata lawan-lawan Marxisme.
Lenin pernah berkata : ‘Penyelidikan terhadap hubungan-hubungan produksi
didalam suatu masyarakat tertentu menurut sejarah, dalam kelahirannya,
perkembangannya, dan keruntuhannya. Demikianlah isi dari ajaran ekonomi Marx’.
Jadi, ajaran ekonomi Marxis harus mempelajari hukum-hukum ekonomi yang berlaku
didalam masyarakat yang diselidikinya. Hukum ekonomi merupakan hukum-hukum
obyektif dan dalam hal ini sepenuhnya sama dengan hukum-hukum obyektif yang
berlaku dalam alam. Tetapi berbeda dengan hukum alam, hukum ekonomi berlaku
didalam masyarakat dan langsung mengenai kepentingan-kepentingan manusia,
golongan-golongan manusia, atau klas-klas. Ada klas yang diuntungkan oleh
berlakunya suatu hukum ekonomi tertentu, ada yang dirugikan oleh hukum itu.
Oleh sebab itu, timbul sikap yang berbeda-beda dari berbagai klas itu terhadap
hukum tersebut. Mereka yang diuntungkan berkepentingan akan segera
terlaksananya hukum itu, berusaha mengenalnya dan menggunakannya. Sedangkan
klas yang dirugikan berusaha sekuat-kuatnya melawan hukum itu, berusaha
menutup-nutupinya atau memutarbalikkannya. Misalnya, hukum bahwa feodalisme
pada tingkat perkembangannya yang tertentu harus diganti oleh kapitalisme,
digunakan oleh klas borjuis dengan melaksanakan revolusi borjuis anti feodal,
sebagaimana antara lain terjadi di Perancis ( 1789 ). Dipihak lain, kaum
bangsawan feodal melakukan segala daya upaya untuk menggagalkan revolusi itu
dan merebut kembali kekuasaan negara.
Begitu juga di Indonesia, kita sendiri berpengalaman bagaimana kaum penjajah
dengan sarjana-sarjananya, betapa ilmiahpun dasar pendidikannya, tidak dapat
atau tidak mau mengenal hukum obyektif bahwa penjajahan melahirkan perlawanan
rakyat yang menentang penjajahan dan berjuang untuk kemerdekaan nasional dan
bahwa kemerdekaan nasional adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Oleh sebab itu
timbul bermacam-macam teori yang dalam bentuk kasarnya terang-terangan
menyatakan keunggulan ( superioritas ) bangsa penjajah atas bangsa yang dijajah
dan dalam bentuk halusnya menggambarkan penjajahan sebagai pelaksanaan
kewajiban suci bangsa-bangsa maju untuk membantu bangsa-bangsa terbelakang.
Demikianlah, kita melihat bahwa kepentingan yang bertentangan dengan suatu
hukum obyektf membuat klas itu buta terhadap hukum itu, sedangkan kepentingan
yang sesuai membuat klas itu melek terhadap hukum itu. Oleh sebab itu, suatu
ilmu sosial termasuk ilmu ekonomi politik, dapat bersifat benar-benar ilmiah
dan obyektif, bukannya dengan berdiri diatas klas-klas tidak memihak kesana
kemari, tetapi justru dengan secara teguh memihak pendirian klas yang maju,
klas yang kepentingannya sepenuhnya sesuai dengan hukum-hukum perkembangan
sejarah. Klas semacam ini adalah klas pekerja, karena klas
pekerja timbul dalam masyarakat kapitalis, sistim masyarakat terakhir yang
berdasarkan penghisapan atas manusia oleh manusia. Klas pekerja hanya mungkin
sampai pada tujuan perjuangannya, jika sistim kapitalis hapus sama sekali.
Pada jaman kita sekarang sudah jelas, bahwa perkembangan masyarakat manusia diseluruh
dunia yang menuju terwujudnya masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh
manusia merupakan hukum perkembangan yang obyektif. Dengan membebaskan diri
dari kapitalisme, klas pekerja akan menamatkan riwayat segala bentuk
penghisapan, maka dengan sendirinya ia merupakan satu-satunya klas yang
kepentingannya sepenuhnya sesuai dengan hukum perkembangan tersebut. Oleh sebab
itu, Marxisme dengan ajaran ekonominya yang mendasarkan diri pada pendirian
klas pekerja, justru merupakan ajaran yang ilmiah dan obyektif, karena ia
berpihak pada sesuatu yang sedang berjuang untuk suatu perspektif yang
obyektif, yaitu masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Sejarah
gerakan buruh sedunia dan juga gerakan kemerdekaan nasional kita sendiri
membuktikan bahwa setiap orang yang dengan jujur menginginkan serta
memperjuangkan pembebasan manusia dari segala macam penindasan, dapat memahami
Marxisme dan mempergunakannya bagi kemajuan masyarakat manusia.
----Senin 09 juli 2012 - Sejumlahmahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Tolak Komersialisasi Pendidikan menggelar aksi untuk menolak Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi, mereka menyatakan sikap dengan mengadakan menggelagar spanduk bertuliskan SELAMAT DATANG DIKAMPUS ANTI RAKYAT MISKIN didepan kampus universitas mulawarman. ----
TOLAK RUU PT
“pendidikan adalah hak rakyat.
Rakyat memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan pemerintah
berkewajiban memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengenyam pendidikan.
Pemerintah seharusnya memperhatikan aturan yang telah disepakati secara
konsensus itu.” Pasal 31 UUD 1945
Ayat (2)
Sesuai dengan pasal
yang berbunyi di atas, seharusnya Rakyat Indonesia dapat memperoleh pendidikan
yang layak dan pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada rakyat
untuk mengenyam pendidikan. Tapi kenyataannya pada saat ini pemerintah telah
akan menanggalkan tanggung jawabnya tersebut, kita bisa lihat bersama relitas
yang ada rakyat Indonesia yang masih dinilai minim dalam dunia pendidikan
bahkan masih banyak yang tidak dapat pendidikan secara layak sesuai
standarisasi nasional karena rakyat masih terbebani oleh biaya-biaya yang cukup
berat dan berfikir “toh nantinya akan jadi pekerja biasa saja”, ketakutan-ketakutan
seperti itulah yang mengukung kebebasan rakyat itu sendiri. Rakyat semakin
enggan berfikir bagaimana caranya mereka mendapatkan pendidikan yang layak
padahal sudah jelas dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 02 diatas bahwasanya
pendidikan adalah tanggung jawab
Negara untuk
membebaskan rakyat dari kebodohan seerta penindasan manusia atas manusia.Negara
yang kita tahu bahwa pemeran dari pada birokratismenya adalah elit borjuis dengan
madzhab kapitalisnya menjadikan
pendidikan sebagai alat baru untuk mempraktekkan penghisapan secara utuh
melalui pendidikan itu sendiri. pendidikan sebagai ruang ideologisasi kelas
borjuasi telah mengendalikan paradigma pendidikan nasional. Pendidikan
diarahkan untuk pemperkuat sistem kapitalisme serta membenarkan praktek jahat
atas penghisapan. Disini propaganda borjuasi akan menjauhkan pelajar maupun
mahasiswa terhadap lingkungan masyarakat, menjauh dari realitas kemanusiaan dan
kondisi masyarakat yang tengah dialami.
Pendidikan yang seharusnya berdasarkan
objektifitas / realita malah dijadikan komoditi agar tetap menjaga kantong koin
Pemerintah tetap terisi, dengan cara menghapuskan kurikulum pendidikan yang
tidak berhubungan dengan kepentingan mereka, dan kurikulum yang tidak sesuai
dengan kepentingan kelas borjuis serta dianggap tidak menguntungkan
negarasecara perlahan-lahan akan dihapus dan diganti dengan kurikulum yang
sesuai dengan kepentingan mereka salah satunya dalam dunia pendidikan yang ada
di perguruan tinggi, dimana dalam kurikulum perguruan tinggi membicarakan
hal-hal objektif dimana hal-hal objektif yang di pelajari adalah bagaimana
manusia dengan alam kemudian bagaimana manusia dengan manusia itu sendiri
sehingga dapat menciptakan ilmu pengetahuan yang bermanfaat akan tetapi yang
seperti itu malah digantikan dengan kurikulum yang sesuai dengan kepentingan
mereka (Red:Borjuis). Dan itu semua akan semakin rapi terpraktek setelah
terlegitimatenya Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi sehingga kelancaran
untuk perputaran modal merekapun tidak akan musnah seperti yang telah jelas
terpapar pada pasal-pasalnya yang mana setiap pasalnya lebih banyak
menguntungkan para elit borjuasi.
Pendidikan
Dalam RUU PT
Kebijakan pemerintah seharusnya
mengutamakan kepentingan masyarakat sehingga segala kebijakan mencerminkan
kebaikan bersama. Demikian pula halnya jika kebijakan dibuat untuk perguruan
tinggi, maka selayaknya berpihak pada perguruan tinggi. Apalagi, perguruan
tinggi penting untuk mendorong kemajuan bangsa. Akan tetapi, RUU PT tak
mewakili aspirasi masyarakat, khususnya bagi civitas academica. Beberapa
klausul dari peraturan tersebut dapat menyudutkan pendidikan dalam negeri,
bahkan mematikannya.
Liberalisasi dan penjajahan
Ada beberapa pasal yang perlu
dikritisi dalam RUU PT ini. Pasal-pasal tersebut dianggap dapat memperburuk
dunia pendidikan Indonesia. Seperti :
Pasal 9-terdiri dari 4 ayat
Ayat 2 :kebebasan mimbar akademik merupakan
wewenang professor atau dosen yang memiliotoritas dan wibawa ilmiah untuk
menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan
dengan rumpun ilmu dan cabng ilmunya.
Ayat 4 :ketentuan lebih lanjut tentang civitas
akademika, rumpun, dan cabang ilmu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur
dengan peraturan mentri.
Rumpun
ilmun serta cabangnya seharusnya diserahkan kepada pihak perguruan tinggi serta
civitas aakademik untuk mengaturnya, akan tetapi dalam pasal tersebut segala
aspek rumpun ilmu serta cabangnya akan diatur oleh kementrian (Negara) yang
mana kembali lagi pada konteks kepentingan golongan kapitalis serta elit
borjuis.
Pasal 16-terdiri dari 3 ayat
Ayat 1:kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan
oleh setiap perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan
Tinggi untuk setiap program studi yang mencakup pengembangan kecerdasan,
intelektual, akhlak mulia dan keterampilan
Ayat 3: ketentuan lebih lanjut mengenai kurikulum
diatur dalam peraturan mentri
Kurikulum
yang seharusnya menjadi wewenang perguruan tinggi akan menjadi wewenang Negara
yang mana dalam konteksnya pengaturan serta pengevaluasian kurikulum itu
sendiri akan diatur secara penuh oleh pemerintah untuk kepentingan para elit
borjuis sehingga apabila ada suatu kurikulum yang dianggap tidak menjadi ranah
keuntungan untuk mereka kurikulum tersebut akan dihapuskan.
Pasal 20-terdiri dari 6 ayat
Ayat 1: perguruan tinggi menyelenggarakan
penelitian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya bangsa.
Ayat 6: ketentuan lebih lanjut mengenai
penelitian, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kerjasama antara perguruan
tinggi dan perguruan tinggi dengan usaha
dengan dunia industri dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),dan pendaya
gunaan Perguruan Tinggi Sebagai Pusat penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dalam peraturan pemerintah
Jika
penelitian diatur oleh pemerintah dikhawatirkan akan timbul suatu indepensi
perguruan tinggi akan terkikis
Pasal 32 terdiri dari 3 ayat
Ayat 1:perguruan tinggi memiliki otonomi untuk
mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggara Tridharma
Ayat 2: otonomi pengelolaan perguruan tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan
serta kemampuan perguruan tinggi
Ayat 3: dasar dan tujuan serta kemampuan
perguruan tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dievaluasi oleh mentri
Pertentangan
antara ayat 1 perguruan tinggi memiliki otonomi dengan ayat 3 yang otonomi
dievaluasi oleh mentri sangatlah jelas bahwasanya segala regulasi yang
diperuntukkan kepada perguruan tinggi tidak lepas dari campur tangan Negara.
Otonomi yang seharusnya dikelola secara penuh oleh pihak perguruan tinggi kini
dipegang kendali oleh pemerintah padahal pihak perguruan tinggi itulah yang
mengetahui situasional PT-nya secara penuh sehingga merekapun tahu seperti apa
dan bagaimana perguruan tingginya tersebut.
Juga dalam Pasal
77 yang menyebutkan bahwa pemerintah memilah perguruan tinggi menjadi tiga
kategori, yakni otonom, semi-otonom, dan otonom terbatas. Otonomisasi
pendidikan sangat rawan disalahgunakan oleh pengelola perguruan tinggi yang tak
bertanggung jawab.
Pada konteks tersebut,
pemerintah memberi kewenangan pada perguruan tinggi dalam mengelola keuangan,
termasuk cara memperolehnya. Pada kondisi seperti ini, sangat mungkin
pendidikan dianggap sebagai komoditas perdagangan. Otonomi tersebut, jika tak
bijak disikapi, akan menjadi ancaman bagi nilai luhur pendidikan Indonesia.
Akan banyak muncul perguruan
tinggi yang memanfaatkan otoritasnya untuk membuat kebijakan yang
menguntungkan. Misalnya, dengan biaya kuliah yang mahal. Tingginya biaya ini
berimplikasi langsung dalam bentuk diskriminasi pendidikan karena orang dengan
ekonomi lemah akan termarjinalkan.
Selain itu, Pasal 90 juga
berdampak buruk bagi mahasiswa. Dalam
pasal tersebut dijelaskan bahwa pemerintah memberikan dan/atau mengusahakan
pinjaman dana kepada mahasiswa. Sepintas hal tersebut tampak membantu
mahasiswa. Namun, sebenarnya hal itu menciptakan kebiasaan buruk: mahasiswa
akan terbiasa berutang.
Lebih jauh, utang dapat membuat
kebebasan mahasiswa terbelenggu. Ketika mahasiswa tersebut memiliki pinjaman
dari kampus, hal itu secara tak langsung dapat menjadi penumpul jiwa kritis
mahasiswa. Apalagi, jika pemberian utang itu disertai persyaratan yang
mengungkung kebebasan: mahasiswa penerima beasiswa tidak boleh ikut
demonstrasi, misalnya.
Lebih memprihatinkan lagi, Pasal
114 yang menyebutkan bahwa perguruan
tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Ini tentu
sangat berbahaya jika melihat posisi Indonesia saat ini. Orang Indonesia
kebanyakan lebih suka sesuatu yang berbau luar negeri, impor, padahal belum
tentu bermutu sehingga merugikan
universitas lokal.
Dengan pergulatan pasal-perpasal menjadi sebuah
pertarungan formal, namun harus kita pahami bersama pendidikan harus lah
menjadi milik semua orang, dan dengan bebas mampu di akses serta menjadi sebuah
perkembangan ilmu pengetahuan yang bergerak secara objektif. Dengan situasi di
atas maka sudah semestinya semua para pelaku jalannya dunia pendidikan
mendapatkan kewenangan penuh mengelola dan memimpinnya, dengan membangun Majelis Civitas Akademik dan Dewan Pendidikan yang di kuasai dan di
control oleh rakyat, pendidikan akan
menemukan arahnya karena semua para pelaku jalannya pendidikan yang
memahami realitas dapat membuat regulasi
nya.