SELAMAT DATANG MAHASISWA BARU -Pahamilah Apa Yang Akan Kalian Hadapi-

>> Sabtu, 25 Agustus 2012

Situasi dan Arah Pendidikan Kerakyatan. 

 

Mewujudkan pendidikan kerakyatan, menggugat sistem pendidikan yang kapitalistik 
Oleh: barrapravda

• Mukaddimah

Manusia, memiliki kemampuan untuk mengembangkan hal-hal baru dalam kehidupannya. Menciptakan alat-alat kerja dan memperbaharuinya secara terus menerus dengan modal ilmu pengetahuan. Manusia, berkat kemampuannya bergagasan pulalah ia sanggup untuk mempertahankan hidup. Karena, ’Naluri utama seorang manusia adalah bertahan hidup’. Sedangkan, untuk bertahan hidup, manusia memiliki dua kebutuhan hidup (primer dan sekunder). Kebutuhan hidup yang primer menurut Marx adalah: kebutuhan yang materiil (makan, minum, berproduksi). Sedangkan kebutuhan sekundernya (spirituil) adalah kebutuhan agar manusia mendapatkan ketenangan jiwa, agar manusia menjadi baik (memberikan kebaikan pada tiap manusia), jujur, bertanggung jawab dan berdisiplin. Untuk memenuhi kebutuhan materiil tadi (makan, minum, berproduksi), manusisa butuh yang namanya KERJA. Baik itu KERJA PRODUKSI maupun KERJA SOSIAL. KERJA SOSIAL itu sendiri adalah kerja secara kognitif (kesadaran). Makna KERJA adalah merubah sesuatu hal menjadi hal yang berbeda/baru dari sebelumnya. Salah satu kerja sosial yang akan kita bahas di sini adalah kerja yang dapat merubah kondisi masyarakat menjadi yang lebih baru (lebih baik/bermartabat). Contoh kerja sosial adalah, merubah manusia sakit menjadi sehat, tidak mengerti menjadi mengerti, tidak berilmu pengetahuan menjadi berilmu pengetahuan, ”bodoh” menjadi pandai. Tidak berpendidikan menjadi berpendidikan.

• Tentang filsafat pendidikan

Belajar tentang hakikat pendidikan yang dikemukakan oleh seorang teoritikus Marxist dari Brasil, yaitu Paulo Freire yang tenar dengan karyanya di bidang filsafat pendidikan berjudul Pedagogy Of The Opressed. Dalam karyanya, Freire menjelaskan bahwa pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Berangkat dari pandangan filsafatnya mengenai pendidikan, ia mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan manusia itu sendiri, pengenalan yang obyektif dan subyektif, sekaligus. Kesadaran subyektif dan keadaan/realitas obyektif haruslah menjadi satu fungsi dialektik untuk memahami dunia dan kontradiksinya (tertindas dan penindas), hal tersebut harus dipahami oleh manusia (peserta didik).

Menurutnya, ada tiga unsur yang terlibat dalam dunia pendidikan. Yaitu:
1. Pengajar
2. Pelajar atau peserta didik
3. Realitas dunia

Oleh Freire, ketiga hal tersebut diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, subyek yang sadar (cognitive): Pengajar dan Pelajar/peserta didik. Sedangkan yang kedua adalah obyek yang harus disadari (cognizible): Realitas dunia. Hubungan berkesinambungan (dialektik) seperti di atas itulah yang—menurut Freire—tidak pernah kita jumpai dalam pendidikan ”mapan” a-la borjuis sekarang ini. Sistem pendidikan yang ada hanyalah semata-mata menjadikan anak didik sebagai obyek deposito dan akan diambil keahliannya, dimanfaatkan ilmunya, kemudian diharapkan sanggup untuk melipatgandakan modal yang sudah dikeluarkan oleh orangtua, guru, dan, paling utama adalah agar dapat menunjang kelangsungan mekanisme produksi yang memiliki perspektif kapitalis. Jadi—menurut Freire—anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga pendidikan ”mapan” milik penguasa/pemodal, sementara depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Pada akhirnya, peserta didik tak memiliki perspektif lain selain yang diajarkan oleh guru lewat kurikulum kapitalis, peserta didik menjadi tak berkesadaran (revolusioner). Dan yang paling parah adalah, peserta didik tidak diajarkan menjadi bagian dalam realitas dunia yang, ternyata sangat kontradiktif (tertindas dan penindas), bahkan malah diperspektifkan menurut kelas kapitalis yang dominan dan menindas kelas mayoritas (proletar).

Itulah kenapa Marx mengelompokkan mahasiswa sebagai borjuis kecil, dimana dalam pengelompokan filsafat kelasnya, ia masuk dalam kelompok non-fundamental, artinya, bisa saja dia menjadi penindas baru, bisa juga dia berbalik menjadi pembela kaum buruh, menjadi motor penggerak perjuangan kelas, tinggal bagaimana syarat-syarat materialnya (mahasiswa/pelajar) untuk menjadi bagian dari perjuangan kelas proletar diberikan oleh organisasi/kolektif, selain juga memang karena kehendak dirinya untuk berkesadaran kelas proletar. Dialektika obyektif dan subyektif.

• Pendidikan di Indonesia lahir dari eropa (bumerang politik etis), sama halnya dengan kebangkitan nasionalisme Indonesia, lahir dari—kata Pram—ibu kandung eropanya. Sama seperti tentara, lahir dari fasisme Jepang dan Kolonialisme Belanda

Kebangkrutan negri-negri eropa akibat perang antara negri kapitalis dan krisis ekonomi memaksa Belanda melakukan perluasan pasar untuk menyelamatkan negrinya, dengan memakai politik dagang berwatak monopolistik. Perkembangan tehnologi (terutama perkapalan) di Eropa Selatan memberikan basis/landasan bagi negri kapitalis untuk melakukan ekspansi dagang mencari daerah-daerah kekuasaan baru. Selain kebangkrutannya karena peperangan (antar negri kapitalis), Belanda juga mendapati kendala pemberontakan-pemberontakan di Hindia Belanda, yang juga menguras banyak biaya. Maka, agar tak mengeluarkan banyak biaya dan jatuhnya korban di pihak tentara Belanda, merekapun memakai legiun-legiun (tentara) dari Jawa (Surakarta dan Jogjakarta) untuk dikirimkan ke daerah-daerah yang memberontak tersebut. Licik!! Memakai tentara pribumi untuk mematahkan perlawanan daerah pribumi yang lain. Beberapa daerah yang menolak dan memberontak terhadap pendudukan Belanda antara lain adalah Denpasar, Lombok, Aceh, mereka melakukan perlawanan sengit, tapi masih mudah ditumpas oleh Belanda karena perlawanannya yang sangat sporadis, selain memang kerajaan-kerajaan di Nusantara sering dilanda perpecahan dan perang saudara akibat intrik dan perebutan kekuasaan (konflik internal kerajaan).

Datanglah raksasa dagang, dengan tehnologinya yang sudah maju (perkapalan, persenjataan, tehnik administrasi) ke negri-negri jajahan, termasuk Indonesia, lewat VOC yang berkarakter monopolistik (monopoli produksi, perdagangan dan keuangan). Proyek-proyek raksasa pembangunan infrastruktur yang diagendakan oleh kolonial Belanda secara besar-besaran mengorbankan darah rakyat, kerja rodi tanpa bayaran dan tak manusiawi diberlakukan oleh Belanda lewat komando Daendels, seorang pengagum Napoleon Bonaparte yang menjajah negrinya sendiri, Belanda. Dengan gagahnya, Jalan Raya Pos dari Anyer ke Panarukan (dari ujung barat pulau Jawa hingga ujung timur pulau Jawa) melintas-membentang, membelah pulau Jawa. Sekarang, Jawa telah disatukan dalam kekuatan kolonial, jalur distribusi modal menderap semakin deras, menumpuklah kapital Belanda.

Pada pertengahan abad 19, awan di langit eropa berselimut sorak-sorai kemenangan borjuasi atas tumbangnya monarki absolut. Perancis yang mengawalinya, kemudian, atmosfer perlawanan penumbangan kerajaan (feodalisme) terbawa angin ke seluruh eropa. Situasi ekonomi-politik mulai mengalami pergeseran besar-besaran, dan merombak tatanan masyarakatnya. Kekuatan kapital dagang swasta (borjuasi) semakin mendapatkan momentumnya untuk berkembang lebih besar setelah mereka sukses menggantikan monarki absolut menjadi monarki parlementer, diterapkan dalam sistem yang mereka buat, kapitalisme. Mereka sudah enggan diatur oleh negara (kerajaan, saat itu), borjuasi menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan sistem politiknya. Sudah tak ada lagi monopoli produksi, dagang dan keuangan (dalam masyarakat industri), semua harus dibebaskan dalam persaingan. Arus liberalisasi/swastanisasi adalah ”manisnya” buah kemenangan borjuasi yang baru tumbuh-kembang, meskipun dalam revolusinya, mereka memanfaatkan kekuatan proletar, kemudian mengkhianatinya. Angin perubahan ternyata berdampak pada koloni Belanda yang ada di Indonesia. Setelah dihentikannya tanam paksa pada 1870, Belanda kelimpungan dalam menghadapi problem rendahnya tenaga produktif rakyat Hindia Belanda waktu itu. Pribumi banyak yang buta huruf, alpa tehnologi, miskin pengetahuan.

Maka, saat itulah, guna mempercepat akumulasi kapital, (dengan kedok politik etis—”balas budi” atas penghisapan dan kerja paksa) dibangun sekolah-sekolah untuk mengisi kekurangan tenaga ahli penggerak sistem kapitalisme, agar produktifitas meningkat, agar tenaga kerja pribumi bersentuhan dengan tehnologi (meskipun penerimaan siswanya sangat diskriminatif). Berdirilah sekolah-sekolah. Tapi, yang dibangun pertama kali adalah sekolah militer di Semarang pada tahun 1819—di sini dapat terlihat jelas bahwa kapitalisme sangat militeristik—baru kemudian dibuka sekolah-sekolah umum: Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda (1842), Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852). Dalam sekolah-sekolah tersebut, yang bisa masuk dan menikmatinya hanyalah anak-anak dari para priyayi/para pejabat pribumi antek Belanda dan tentunya untuk anak-anak Belanda sendiri. Selain sekolah tinggi, dibangun juga sekolah dasar pada 24 Februari 1817. Bersamaan dengan derasnya arus liberalisasi di Hindia Belanda, maka dikeluarkan UU Pendidikan pertama, yang diarahkan untuk kepentingan Bumiputra dengan perspektif Belanda.

Politik etis (edukasi), adalah politik yang menyerang balik orang tua kandungnya sendiri, eropa. Dibangunnya sekolah-sekolah di Hindia Belanda menyedot beberapa anak bangsawan pribumi/priyayi. Mereka mulai belajar tentang teori-teori, ilmu pengetahuan, mereka juga mulai mengenal tentang perjuangan membela bangsa sendiri dari jajahan, dikenalkan pula mereka (pribumi) yang bersekolah dengan tulis menulis/jurnalistik/pers dan organisasi sebagai alat perjuangan. Wacana-wacana dari eropa yang dibawa oleh para guru memberikan pasokan ilmu pengetahuan yang sama sekali baru. Lambat laun, dari berita-berita perkembangan dunia (saat itu) yang mereka terima, maka tumbuhlah nasionalisme yang berkobar dalam dadanya, menghentak kesadaran, memang masih redup apinya, kemudian perlahan tersadar bahwa mereka sedang dijajah. Sedangkan, di Eropa sendiri, gerakan revolusioner (komunisme) semakin menguat menjadi lawan politik-ideologi dari kapitalisme. Gerakannnya semakin membesar dan menjadi signifikan dalam perpolitikan Eropa. Ketika itu, gerakan yang sedang tumbuh tersebut (di Eropa termasuk Belanda) merasa bahwa mereka memiliki tanggung jawab politik untuk membebaskan negri-negri yang dijajah oleh kerajaan Belanda waktu itu. Sehingga, dalam tiap aksi dan diplomasi politik, mereka (gerakan kiri revolusioner) menyerukan agar membebaskan Indonesia dan negri jajahan lainnya dari koloni negri imprealis. Tuntutannya adalah agar memberikan hak kemerdekaan pada negri jajahan (negri yang dijajah).

Kemudian, beberapa tokoh muda muncul beserta dengan organisasi yang mereka bentuk. Sebut saja: Djokomono Tirto Adhi Suryo, Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, Tan Malaka, dll. Mereka adalah beberapa tokoh muda yang (secara signifikan) mendapatkan ilmu pengetahuannya dari sekolah-sekolah yang dibentuk oleh Belanda, dari kebijakan politik etis. Tak bisa terhindarkan lagi, gerakan rakyat menentang kolonialisme semakin terus meluas dan membesar, metode-metode aksi massa-pun mereka kenal, semisal vergaadering. Mereka juga mengenal yang namanya perjuangan lewat pers (propaganda luas lewat tulisan), sebut saja koran harian Medan Prijaji yang menjadi corong bagi pengetahuan pribumi.

• Peran pendidikan dan gerakan mahasiswa setelah Revolusi 45 (revolusinya borjuis cacat)

Lahirlah penguasa baru dalam negri. Mereka mengklaim bahwa inilah kemerdekaan. Garis ideologinya secara signifikan terpengaruh oleh komunisme China dan Rusia (Soviet), selain memang masih kental corak nasionalisme sisa-sisa bingkisan dari politik etisnya Daendels (Belanda). Pedang pusaka nasionalisme tersebut juga pernah bersinggungan langsung dalam memperjuangkan kemerdekaan, lepas dari fasisme Jepang. Selain karena gigihnya rakyat mengusir Jepang—saudara Asianya—tapi, suka atau tidak suka, Amerika juga ikut berperan, hingga menyebabkan Jepang berpaling dari Indonesia ketika Hiroshima dan Nagasakinya diremuk redamkan oleh bom atomnya Amerika.

Sebenarnya, aku tidak bisa begitu banyak melihat secara detail bagaimana sistem pendidikan (formal) waktu itu (paska revolusi 45). Tapi, dalam wilayah non formal, pendidikan/pelajaran tentang bagaimana mahasiswa dan rakyat harus berperan dalam meninggikan produktifitas pengetahuannya, mengeksplorasi potensi diri dan memajukan kapasitas, kebanyakan didapat dari organisasi-organisasi kerakyatan revolusioner. Dan kenyataannya, organisasi-organisasi mahasiswa (dan sektor lain) saat itu berkembang begitu marak dan banyak. Mereka memiliki latar belakang ideologi yang berbeda-beda, dan berafiliasi dengan partai politik yang berbeda-beda pula.

Pendidikan politik revolusioner seringkali dipasokkan oleh organisasi yang berwatak kerakyatan. Misal saja, organisasi kebudayaan bernama LEKRA, mereka dengan keseniannya selalu memberikan tontonan dan sajian menarik dalam mengajarkan semangat anti imperialisme. Agitasi-Propagandanya gencar dan selalu saja mudah diterima dan dipahami oleh rakyat yang ketika itu sedang belajar untuk mengembangkan kebudayaannya sendiri menjadi seni/budaya yang tak terpisah dengan rakyat. Ajaran-ajaran revolusi tersemat dalam tiap pagelaran karya. Agitasi untuk mewujudkan budaya melawan, budaya anti kontradiksi, budaya belajar, budaya disiplin sampai pada budaya “moral komunis”.

Pendidikan semacam itu juga yang tidak akan pernah didapatkan dalam dunia pendidikan formal sekarang ini. Seperti yang diungkapkan Freire bahwa, tidak ada dilaektika antara pengajar, peserta didik dan realitas dunia. Nah, di sinilah realitas dunia dapat dipelajari, dalam organisasi kerakyatan. Pelajaran yang tidak akan pernah didapatkan dalam pendidikan formal (borjuis). Bayangkan, jika saja tiap tahun, satu universitas me-wisuda 1000 peserta didiknya, dari 1000 peserta didik tersebut, ada berapa orang yang masuk dalam organisasi revolusioner (aktif mengorganisir revolusi)? Sangat sedikit. Artinya, borjuasi telah sukses meloloskan orok borjuisnya, sedangkan, sudah berapa gelintir mahasiswa revolusioner yang sukses kita jaring dari 1000 lulusan borjuasi tersebut? Suatu saat, perhitungan statistika tersebut menarik untuk dibuat oleh kita. Makna dari perbandingan statistika tersebut berarti bahwa, masih sangat sedikit mahasiswa yang belajar di organisasi (revolusioner), yang mengenal realitas dunia, yang mampu keluar dari hegemoni (dominasi ide) kapitalisme.

• Represifitas dunia pendidikan oleh orba (NKK/BKK)

Babak baru (masa suram yang gelap) sistem demokrasi Indonesia, menandai dekadensi besar-besaran tenaga produktif rakyat. Setelah patahnya komunisme di Indonesia yang dimulai tahun 1965, perombakan secara menyeluruh sistem okonomi-politik dilakukan oleh rezim militer, penguasa baru tersebut. Kediktaturan mengacaukan segalanya. Gerakan rakyat yang sudah bergeliat dihancurkan, organisasi revolusioner dibubarkan, orang-orangnya ditumpas mati (di Jawa dan Bali banyak yang dipotong kepalanya). Tak hanya organisasi dan orang-orangnya yang ditumpas, tapi kebudayaannya, kesadarannya, sejarahnya dihancurkan, faktanya diputarbalikkan. Soeharto sukses melakukan operasi pembersihan unsur komunis. Saking suksesnya, kediktaturan militer Augusto Hose Ramon Pinochet Ugarte yang memimpin Chili dari 1973-1990 terinspirasi oleh Soeharto, hingga menamai operasinya menumpas unsur revolusioner di Chili dengan nama ’The Jakarta Operation’/Operasi Jakarta. 3.200 orang sosialis mati, 80.000 diasingkan, 30.000 disiksa. Dan akhirnya ”sukses” dengan kudetanya (yang dibantu CIA) terhadap Presiden Salvador Allende yang sosialis.

Anak-anak mahasiswa yang lolos dari pembantaian orde baru, yang bisa lari ke luar negri, sepulangnya ke Indonesia membawa ajaran-ajaran baru dari Ibu Eropanya: Kiri baru (New Left), Neo-Marxist, Sosial-Demokrasi dari barat, kemudian membangun LSM-LSM berorientasi reformis. Begitu kondisinya. Ketika itu pula, kiri/Marxist/anti kapitalisme diidentikkan dengan sesuatu yang menakutkan, segala tindak kejahatan diasosiasikan sebagai komunis. Bahkan ditanamkan dalam benak sanubari rakyat, dalam kesadaran bahwa komunis/kiri itu jahat-kejam-tak manusiawi, anggapan-anggapan tersebut dibakukan lewat kurikulum pelajaran dari SD hingga kuliah, dimana-mana, di tiap pidato-pidato RT, di TV, radio, majalah, koran, dll. Pencitraan negatif tersebut berhasil membuat efek traumatik rakyat terhadap ajaran komunis/Marxis. Muncullah pelarangan ajaran Marxis-Leninis lewat instrumen hukum berupa Tap MPRS No. 25 tahun 1966.

Dunia pendidikan tak luput juga dari proyek pembersihan unsur-unsur revolusioner. Setelah sukses menumpas gerakan mahasiswa yang berideologi Marxist, kini giliran rezim mengatur dan memasukkan mahasiswa ke dalam kandang-kandang intelektualitas formal. Belajar tentang teori-teori akademik sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing tanpa boleh ikut campur urusan perpolitikan pemerintahan, tak boleh ada gerakan massa, protes-protes, kritik dibungkam. Dibuatkan pula aturan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) tahun 1978 oleh Daoed Joesoef. Bahkan ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah semakin memperketat ruang ekspresi politik mahasiswa. Mahasiswa dikoridorkan jalur politiknya melalui wadah bentukan rezim berupa Senat Mahasiswa, BEM, dll, di luar lembaga tersebut dianggap terlarang. Pada saat yang hampir bersamaan, diberlakukanlah Sistem Kredit Semester (SKS) sehingga mahasiswa harus dipacu untuk segera menyelesaikan matakuliah yang sudah dijatah dalam tiap semesternya, tak ada lagi waktu luang untuk bisa melakukan aktifitas lain. Makin jauh saja dari realitas kesadaran objektif, kenyataan dunia.

• Orientasi pendidikan yang kapitalistik dan represif (UU BHP pengganti, UU Sisdiknas, DO, Skorsing, absensi 85 persen, dll)

Privatisasi (terutama dalam dunia pendidikan) ternyata sudah ada sejak tahun 1999 dengan adanya perubahan status perguruan tinggi negri menjadi BHMN lewat Peraturan Pemerintah RI Nomor 61 Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Pada awalnya terdapat 4 kampus percobaan yaitu: UI, UGM, ITB, dan IPB. Kemudian pada tahun 2000, bertambah lagi yaitu: UPI Bandung, Universitas Airlangga (Unair), Universitas Diponegoro (Undip), dan Universitas Sumatra Utara (USU). Tentunya bagi kampus-kampus lain hanya akan menunggu giliran saja untuk dijadikan lahan bisnis tanpa memperhatikan kualitas dan sistem pendidikannya (kuríkulum). BHP saat ini adalah nama lain dari privatisasi dengan menggunakan konsep Nirlaba, dan beralasan membendung komersialisasi/kapitalisasi pendidikan. Tapi kenyataannya tak sesuai rencana. Pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 76 dan 77 yang merupakan turunan dari UU Penanaman Modal Asing. Dalam perpres itu dengan jelas dinyatakan bahwa penanaman modal asing diperbolehkan sampai sebesar 40% bagi sektor pendidikan. Maka, konsep nirlaba yang terdapat di RUU BHP (saat itu masih Rancangan), tak lebih sebagai kepura-puraan agar terlihat ’demokratis’ dan ’melindungi’ pendidikan nasional. Selain itu, ada juga instrumen hukum yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan RPP tentang Pendidikan Dasar & Menengah, dimana kesemua produk hukum tersebut merupakan paksaan yang harus dibuat untuk memuluskan jalannya kepentingan neoliberal. Pemerintah abai terhadap rakyat, pemerintah tidak patuh terhadap paraturan diatasnya, melanggar UUD 45 yang mengharuskan rakyatnya mengenyam pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Mari kita lihat pasal dan bunyinya :
UUD 1945 setelah diamandemen, mengatakan : Pada Pasal 31 Ayat (2), "Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Kemudian ditegaskan lagi pada : Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".

Pada awal diberlakukannya BHMN tahun 1999 perkiraan kenaikan biaya kuliah mencapai 300 hingga 400 persen. Di Universitas Indonesia (UI), uang pangkal—Admission Fee (untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp. 5 Juta s/d Rp. 25 juta, sedangkan untuk Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp. 25 Juta s/d Rp. 75 Juta. Untuk Institut Tekhnologi Bandung (ITB) dikenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik mencapai Rp. 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Begitu juga Universitas Gajah Mada (UGM), memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp. 20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Di atas adalah secuil kenyataan dari bobroknya pemerintahan Indonesia yang berada di jalur ekonomi neoliberal.

Janji yang diberikan pemerintah tentang alokasi APBN untuk anggaran pendidikan minimal 20 persen tak kunjung ditepati, rakyat masih banyak yang tidak bersekolah, kebodohan meluas, rakyat masih tidak berani menuntut, kalah. Pada tahun 2007 terdapat kesepakatan antara Pemerintah dan DPR tentang dana anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 51,3 trilyun (hanya 10,3 persen dari total APBN), angka itu sedikit naik dari tahun 2006 yang sebesar Rp. 36,7 trilyun (9,1 persen dari total APBN). Sepanjang tahun 2006 s/d 2009 alokasi anggaran pendidikan sebesar 210 trilyun, dimana angka tersebut jauh labih sedikit dibanding beban pembayaran utang luar negri. Alokasi pembayaran bunga utang dalam negri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga utang luar negri Rp. 25,14 trilyun, cicilan pokok utang luar negri sebesar Rp. 46,84 trilyun. Jika ditotal, maka pembayaran utang luar negri telah menghabiskan 25,10 persen dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, yang berarti juga memboroskan pendapatan negara sebesar 29,33 persen.

Data yang dikeluarkan oleh Human Development Index (HDI)/Indeks Pembangunan Manusia menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-111. Kemudian seperti misalnya kemampuan membaca, laporan yang dikeluarkan UNDP pada Human Development Report 2005, Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan peringkat tersebut justru semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99. Lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004. Nasib tragis menghampiri negri ini. Gawat!

Angka-angka di atas adalah angka tanpa harapan bagi kemajuan kualitas pendidikan Indonesia. Seharusnya tidak begitu keadaannya pendidikan kita jika diingat bahwa letak geografis Indonesia sangat menguntungkan bagi kemakmuran rakyatnya, karena kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa kaya. Lihat saja pendapatan dari berbagai industri pertambangan asing di Indonesia seperti Exxon Mobil pada tahun 2007 berdasarkan laporannya, yang mencapai angka US$ 40,6 Miliar atau Rp. 3.723 trilyun serta Chevron di tahun 2007 mampu memperoleh keuntungan sampai US$ 18,7 Miliar atau Rp. 171 trilyun. Demikian pula dengan 137 pertambangan asing lainnya di Indonesia yang juga mengeruk keuntungan di negri berlahan subur ini. Bandingkan dengan keuntungan pemerintah dari hasil tambang yang telah dijual ke asing, tidak pernah menembus angka 3 persen. Tidak seharusnya negri ini miskin, karena sama sekali tidak memiliki alasan untuk itu.

Sekarang ini, berkat gerakan rakyat pada ’98, demokrasi sudah berhasil dibuka jalannya (meskipun belum sejati). Memang sudah banyak organisasi mahasiswa yang tumbuh, demonstrasi dibolehkan asalkan sesuai kriteria hukum (tentunya masih abstrak ’kesesuaiannya’) meskipun banyak yang sering direpresi aparat. Dalam situasi demokrasi liberal saat ini, rezim neoliberal lebih memilih jalur-jalur administrasi hukum untuk mengendalikan suasana nyaman berinvestasi. Maka dibuatkanlah banyak UU oleh pemerintah sebagai kepanjangan tangan neoliberal dalam bisnis pendidikan. Muncul yang namanya UU Sisdiknas, UU BHP—ataupun yang menggantikannya kelak—, Perpres Nomor 76 dan 77. Masuk lebih dalam lagi adalah aturan-aturan birokrasi kampus yang mengatur kendali gerak mahasiswa dengan cara penerapan DO, Skorsing, dan absensi 85 persen. Ini bisa dikatakan sebagai landasan pemberlakuan NKK/BKK gaya baru. Ya, rezim ini adalah replikanya orba. Kalau dahulu, zaman orba, penggusuran tidak dibutkan undang-undang, tapi dengan kekuatan senjata bersenjata. Sekarang, penggusuran dilegalkan oleh hukum negara (Perpres 36/2005). Luar biasa.

Secara struktural, intervensi modal asing dalam dunia pendidikan sangat nyata bisa kita lihat. Kerangka struktural kampus dalam mekanisme badan hukum pendidikan dibuat sedemikian rupa agar melibatkan aktor-aktor modal dan pemerintah. Misal di UGM, dalam hirarki strukturalnya ada yang namanya Majelis Wali Amanat (MWA), itu adalah struktur di atas rektorat, isinya adalah para elite dan menteri dan penguasa daerah. Hal tersebut bemakna agar mekanisme neoliberal berjalan sesuai adanya tanpa hambatan. Belum lagi dengan adanya badan bernama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang kerjaannya adalah melakukan standarisasi kualitas pendidikan tinggi di universitas-universitas, padahal, dengan adanya kapitalisasi pendidikan ternyata tak meninggikan kualitas pendidikan, malah menyebabkan kampus menjadi mahal, dan realitanya tak sebanding dengan ketersediaan fasilitas yang modern dan bertehnologi tinggi. Karena kampus mahal, maka rakyat miskin tak sanggup untuk bersekolah, menyebabkan semakin hancur tenaga produktif masyarakat.

• Hegemoni kesadaran (palsu) lewat dunia pendidikan

Begitu terus dan seterusnya. Isi kepala mahasiswa dijejali dengan doktrin ideologi melalui instrumen pendidikan. Kurikulumnya, arah akademiknya, teori-teorinya, dll dikanalkan menuju satu muara, yaitu rimba kesadaran kapitalisme. Makin individualis, makin jauh dan samasekali jauh dengan realitas objektif dunia. Makin terasing dalam kesenangan-kesenangan dan kesadaran palsu. Kapitalisme sukses merancang bagaimana mekanisme ideologi tersebar luas dengan efektif (baca: hegemoni) melalui media pendidikan sekolah/kampus. Hingga, keluar sedikit saja dari bangunan ide-ide kapitalisme merupakan sebuah kesalahan besar dan dianggap tidak wajar, dll. Lagi-lagi perempuan yang paling tidak diuntungkan dengan situasi tersebut. Pendidikan formal maupun non-formal borjuasi juga menyumbangkan pengawetan terhadap patriarki (penindasan perempuan). Kapitalisme tak pernah tulus memajukan produktifitas perempuan. Dalam dunia pendidikan, kapitalisme seolah-olah sudah ”membela” perempuan dengan mewacanakan istilah ”wanita karir”. Bagi perempuan terpelajar yang telah lulus dari bangku kuliah, diorientasikan berbondong-bondong membantu memutarkan baling-baling industri (kantoran dan lapangan), tapi dengan upah yang sangat tak sebanding dengan keuntungan majikan. Belum lagi masalah kurikulum pendidikan yang tidak setara, dll dan banyak lagi.

• Bagaimana pendidikan di negara sosialis (Kuba dan Venezuela)

Hal yang paling mendasar dari pembangunan kualitas tenaga produktif adalah memajukan kualitas pendidikan dan kesehatan manusianya (sebagai tenaga penggerak). Pendidikan dan kesehatan manusia adalah suatu modal dasar (human capital) pembangun, penggerak revolusi. Maka, seharusnya pendidikan adalah hal yang paling mendasar untuk dipenuhi kualitasnya dan diberikan semaksimal mungkin kepada rakyat secara massal dan gratis. Tapi oleh kapitalisme, yang diutamakan adalah pemenuhan modal keuangan dimana tenaga manusianya dipekerjakan––tanpa menilai kapasitas manusia tersebut––untuk mendongkrak laba produksi. Ujung-ujungnya adalah rendahnya upah buruh, peraturan yang tak memihak buruh, hak-hak fundamental buruh tak terpenuhi.

Di Kuba, negrinya makmur. Sejak 54 tahun lalu (1 Januari 1956), dengan dukungan 82 pejuang yang dilatih Alberto Bayo (bekas kolonel tentara Spanyol), Fidel Castro mampu menggulingkan rezim kediktatoran Fulgencio Batista yang berkuasa di negeri itu sejak tahun 1956 dan Batista kemudian melarikan diri pada 1 Januari 1959. Di negri makmur tersebut, terdapat 97 persen penduduknya (usia di atas 15 tahun) bisa membaca dan menulis. Dan sekarang 0 persen buta huruf. Dalam proses belajar-mengajarnya, perbandingannya adalah dua puluh murid satu guru, untuk sekolah dasar. Untuk menengah, satu guru lima belas murid. Mereka juga menerapkan prinsip “pendidikan kaum tertindas”nya Freire dengan memberikan metode dialogis antara pengajar-murid-orang tua. Hubungan ketiga unsur tersebut dikelola secara kolektif dalam makna mendekatkan secara psikologis. Hal seperti itu, di Indonesia memang sudah dipraktikkan di beberapa sekolah yang bertaraf internasional, yang biayanya selangit. Hubungan-hubungan dalam civitas akademik merupakan hubungan yang berlandaskan pada nilai nilai tinggi tentang solidaritas antar kelas, penghargaan kepada lingkungan hidup dan prinsip kemandirian, turunan ajaran dari sosok Ernesto Che Guevara. Situasi tersebutlah yang memunculkan nilai baik dari hubungan guru dan murid, yang berlangsung intensif.

Di Kuba maupun Venezuela bisa dibilang sangat terjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk dyang terlibat dalam dunia pendidikan. Tanggal 14 Mei 2009 menyatakan, pemerintah Venezuela menetetapkan 30 persen kenaikan gaji dan menambah tingkat pendapatan bagi sekitar setengah juta guru yang masih aktif maupun yang sudah pensiun . Menurut Menteri Pendidikan Hector Navarro: guru-guru sekolah umum Venezuela sekarang memperoleh lebih dari 700% dari apa yang mereka telah peroleh sepuluh tahun yang lalu, ketika Presiden Hugo Chávez pertama kali terpilih. Guru di Venezuela memiliki kesejahteraan yang sangat mencukupi dalam hal gaji dan juga kemampuan berorganisasi dan pengetahuan politik. Tidak hanya itu, pemerintah Venezuela juga memberikan jaminan transportasi, kesehatan bagi guru-guru yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, dan juga memberikan cuti hamil.

• Jalan keluar bagi pendidikan gratis

Dalam statua Universitas Gajah Mada tahun 1951 telah dijelaskan tentang tujuan UGM yaitu ”menyokong sosialisme pendidikan”, tapi oleh orde baru, pasal tentang ”menyokong sosialisme pendidikan” dihapuskan tahun 1992.

Kini, pendidikan kita semakin carut marut dalam perwujudannya. Mahal dan tak terjangkau rakyat miskin yang mayoritas di negri ini.

Hasil Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas, baik SMA/MA/SMK diumumkan Senin 26 April 2010. Hasilnya mencengangkan. Dari 1.522.162 siswa secara nasional yang mengikuti UN terdapat 154.079 siswa (9,88 persen) yang harus mengulang (pada 10-14 Mei 2010). Dan terdapat 267 sekolah, yang terdiri atas 51 sekolah negeri dan 216 sekolah swasta (dari 16. 467 sekolah tingkat atas) secara nasional tidak ada satupun siswanya yang lulus UN. Angka kelulusan UN tahun ini menurun dibanding dengan kelulusan UN 2009. Yaitu dari UN 2009 yang mencapai 95,05 persen menurun pada tahun 2010 menjadi 89,61 persen. Jika dilihat dari jumlah kekayaan negara kita, sama sekali tak layak jika melihat kondisi pendidikannya.

Kemajuan tenaga produktif rakyat (salah satunya) terletak pada kondisi manusianya, pendidikan dan kesehatannya. Adalah hal yang kontradiktif jika negri kaya tapi rakyatnya tak berdaya beli dalam dunia pendidikan.
Jalan ekonomi neo-liberal yang ditempuh rezim SBY-Boediono (rezim pendidikan mahal), elite politik dan parpol jahat adalah muara dari sengkarutnya dunia pendidikan kita. Biang kerok dari rendahnya tenaga produktif rakyat. Maka, sebagai jalan keluar bagi mahalnya pendidikan adalah:
1. Bangun industrialisasi (pabrik) nasional di bawah kontrol rakyat.
2. Nasionaliasasi energi dan pertambanagan asing di bawah kontrol rakyat
3. Tangkap, adili dan sita harta koruptor dengan partisipasi rakyat.
4. Pajak progresif untuk perusahaan besar.
5. Pemusatan pembiayaan dalam negeri.
6. Pemenuhan Tuntutan-tuntutan Mendesak Rakyat
7. Kekuasaan Rakyat
8. Kebudayaan Maju

Untuk mewujudkan hal di atas, maka butuh 5 kekuatan rakyat, yaitu:
1. Organisasi dan Penyatuan Perjuangan Rakyat
2. Keterlibatan Langsung Rakyat dalam Demokrasi
3. Pemerintahan Persatuan Rakyat Miskin
4. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan
5. Manusia yang Sehat, Produktif, Merdeka, Melawan, dan Bersolidaritas

Program Perjuangan Mahasiswa:
a. Bangun Dewan Mahasiswa.
b. Pendidikan dan Kesehatan Gratis
c. Demokratisasi Kampus:
Referendum
Forum Rembug Kampus dan Front Kampus
Partisipasi setiap Individu dalam Konggres atau Musyawarah Fakultas dan Jurusan
Kebebasan Berorganisasi dan Berpendapat
Bubarkan Menwa
Pembentukan Majelis Civitas Akademika

d. Perbaikan Kurikulum Kampus:
Sistem pengajaran yang dialogis dan bervisi kerakyatan
Kurikulum yang berperspektif Feminisme
Masukkan sejarah revolusi nasional dan negara lain dalam mata pelajaran umum
Masukkan karya Sastra Indonesia (Karya sastrawan dan seniman besar Indonesia. Misal, Pramodeya Ananta Toer, dll)
Mempelajari pengalaman kemajuan Negara-negara yang berdikari dan mandiri (Bolivia, Venezuela, kuba, Iran, dll)
Hapuskan pembatasan waktu kuliah
Hapuskan preesensi 75 %
Hapuskan sistem DO

e. Transparansi dana kampus
f. Komersialisasi pendidikan:
Hapuskan UU Sisdiknas
Lawan Privatisasi Kampus

g. Perbaikan Fasilitas Kampus:
Fasilitas yang Modern dan Ekologis
Sediakan ruang publik sebagai tempat berekspresi dan bersosialisasi
Sediakan Perpustakaan yang lengkap, termasuk e-library.
Sediakan Fasilitas bagi difable.



Terimakasih.
Salam JUANG!
Semoga BERKOBAR!

0 komentar:

Posting Komentar

PEMBEBASAN SAMARINDA. Diberdayakan oleh Blogger.
Copyright © 2011. PEMBEBASAN Kolektif Wilayah Kalimantan Timur . All Rights Reserved
Design by Ikhsanhafiyudin | Blog
ihzone.web.id